Prabowo Pemimpin Otentik, Bukan Pemimpin Plastik

Prabowo Subianto (kiri) dan Fadli Zon (kanan). dok: istimewa

JAKARTA – Debat pertama Pilpres 2024 sudah beberapa hari lewat, namun publik masih saja terus membicarakannya hingga kini. Baik di laman media mainstream, maupun di media sosial. Masih banyak orang yang belum berhenti membahas debat pertama itu. Melihat antusiasme tersebut, saya punya dua catatan positif terkait debat pertama Pilpres 2024.

Pertama, tingginya tanggapan publik atas debat pertama Pilpres menunjukkan masyarakat kita antusias mengikuti acara tersebut. Ini manandakan kehidupan demokrasi kita masih cukup baik. Ada keterlibatan dan partisipasi publik dalam proses berdemokrasi yang tengah berlangsung.

Kedua, berbeda dengan debat pada dua Pilpres sebelumnya, yang hanya menghadirkan dua pasang calon, pada debat Pilpres kali ini kita kembali disuguhi debat lebih dari dua kandidat. Ini juga hal positif lain yang pantas diapresiasi.

Polarisasi dua kubu sebagaimana pernah muncul pada dua Pilpres sebelumnya tak boleh kita pelihara. Sehingga, hadirnya tiga kandidat dalam Pilpres 2024 sebagai bentuk kemajuan. Alhamdulillah, kehidupan demokrasi kita tak jadi mandek. Kita bisa menatap tahun 2024 dengan pandangan lebih optimis.

Terkait isi dan jalannya debat, ada satu poin penting yang ingin saya garis bawahi. Dari tiga kandidat, Ketua Umum DPP Partai Gerindra Prabowo Subianto bisa tampil otentik, apa adanya. Ada yang bilang, Prabowo satu-satunya kandidat yang bukan plastik. Saya sepenuhnya setuju dengan perumpamaan tersebut.

Sebagai tokoh, Prabowo memang tak menyukai pencitraan. Bahkan, dalam sejumlah hal, ia bisa disebut anti-pencitraan. Saya yang mengenal dari dekat selama 30 tahun, menyaksikan bagaimana Prabowo hanya mau tampil apa adanya tanpa kosmetik. Bahasa dan pernyataan politiknya selalu lugas, tak pernah belepotan oleh bedak dan lipstik.

Saat menjawab pertanyaan insinuatif dari Ganjar Pranowo atas kasus pelanggaran HAM, misalnya, dengan lugas Prabowo menjawab bahwa ia tak pernah punya persoalan dengan semua tuduhan itu.

Kalau ada persoalan, maka tak mungkin sebagian besar aktivis 1998 mau duduk di belakangnya pada debat malam itu.

Atau, jika ia memang dituduh punya persoalan HAM, maka calon wakilnya Ganjar Pranowo, Prof. Dr. Mahfud MD, yang kebetulan menjabat sebagai Menko Polhukam, seharusnya telah membereskan persoalan tersebut.

Untungnya Prabowo tak bilang bahwa Ganjar Pranowo pun ikut menjadi Tim Pemenangannya tahun 2009 ketika Mega-Prabowo. Saya menjadi saksi dan penulis “Perjanjian Batu Tulis” tahun 2009 ketika Megawati hanya mau maju kalau calon wapresnya adalah Prabowo Subianto. Ganjar ketika itu menjadi bagian dari “Tim Sukses”. Saya menjadi Sekretaris Tim Kampanye Nasional (TKN) Mega-Prabowo dan Hasto Kristiyanto menjadi wakil sekretaris saya.

Kalau Prabowo punya masalah, tak mungkin juga Mahfud MD mau menjadi Ketua Tim Pemenangan Prabowo-Hatta pada Pilpres 2014. Saya yang waktu itu meminta dan mengusulkan Mahfud MD sebagai Ketua Tim. Dan saya ditunjuk sebagai Sekretaris Tim yang sehari-hari bekerja sama dengan Mahfud MD berjuang memenangkan Prabowo-Hatta.

Jadi menurut saya, jawaban-jawaban Prabowo dalam debat pertama Pilpres ini sudah sangat lugas, tegas, dan juga telak. Prabowo tak menjawab dengan kata-kata normatif dan bersayap sebagaimana sering dilontarkan dua kandidat lain, yang sebenarnya jika diteliti hanya bersifat tautologis, jika begini maka begitu.

Kelugasan dan otentisitas semacam itulah yang selalu dipertontonkan Prabowo, baik dalam debat kemarin, maupun dalam semua penampilan publiknya selama ini. Ia selalu membahas persoalan, atau menjawab pertanyaan, berdasarkan pengalaman riilnya sebagai manusia Indonesia yang sudah malang melintang.

Jika harus tegas, ia akan bersuara tinggi saking semangatnya. Jika harus berkelakar, ia bisa terbahak-bahak. Jika sedang senang, ia akan berjoget spontan yang kini orang namakan “joget gemoy”. Itulah Prabowo, manusia apa adanya, otentik.

Prabowo bukanlah tipikal pemimpin pesolek yang selalu berusaha tampil cantik dan anggun di depan publik, meskipun keanggunan dan kecantikan itu sebenarnya hanya polesan saja.

Akibat enggan didandani dan disuruh bersolek itulah banyak orang selama ini telah menyalahpahami Prabowo sebagai tokoh temperampental, sebuah penilaian yang sepenuhnya keliru.

Silakan dicatat, Prabowo tak pernah menyerang atau menjatuhkan orang di depan publik, meskipun terhadap orang yang pernah menyakiti, mengkhianati, atau mengecewakannya.

Mungkin mudah bagi kita untuk menahan diri, karena kita tak pernah disakiti, dikhianati, atau dikecewakan. Tapi Prabowo, orang yang sering difitnah dan dikhianati itu, terbukti bisa menyimpan kemarahan dan kekecewaan pribadinya tetap berada di relung hatinya. Ia hanya meledak-ledak untuk urusan-urusan yang bersifat publik saja. Dan hal ini jelas bukanlah sebuah kekurangan.

Dalam debat kemarin, Prabowo juga tak menonjolkan ke-aku-annya, melainkan lebih banyak mengedepankan ke-kita-an. Berkali-kali ia mengingatkan pentingnya “kekitaan”.

Hal itu bukan hanya semata-mata tinggal dalam kata-kata. Prabowo sudah melakukan dan mempraktikan sendiri semua yang diomongkannya. Jika harus mengalah untuk kepentingan yang lebih besar, ia mengalah. Itulah yang ditunjukkan pasca Pilpres 2019. Demi persatuan nasional, Prabowo bergabung dengan Pemerintahan Joko Widodo dengan semangat rekonsiliasi nasional.

Kalau ada yang bilang tak tahan beroposisi, cobalah bangun partai atau masuk dalam partai politik. Perjuangan politik seringkali tak mudah, tak hitam putih. Ada kalanya harus mundur selangkah, untuk maju seribu langkah. Ada kalanya, perjuangan berliku itu panjang untuk mencapai tujuan.

Terkait kekitaan, Prabowo adalah satu-satunya tokoh yang selalu berusaha merangkul orang lain untuk kepentingan yang lebih besar. Pada Pilpres 2014, misalnya, Anies Baswedan sering menyindir dan menyerang Prabowo. Namun, Prabowo tak pernah memasukkan serangan-serangan itu ke dalam hati.

Terbukti, untuk menghentikan kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama di DKI Jakarta, Prabowo telah mengorbitkan dan membiayai Anies jadi gubernur. Hal semacam itu tak mungkin dilakukan oleh orang yang sempit hati dan pikirannya.

Saya adalah orang pertama yang mengusulkan pencalonan Anies Baswedan sebagai calon gubernur DKI di saat-saat akhir sebelum penutupan pendaftaran KPU. Saya pula yang menulis “perjanjian politik” Anies Baswedan dan Sandiaga Uno serta Prabowo Subianto (Ketua Dewan Pembina Gerindra) dan Salim Segaf al Jufri (Ketua Majelis Syuro PKS). Selain dengan tulisan tangan, materai nya pun darurat pakai ludah saya.

Saya menjadi saksi dan pelaku peristiwa itu. Prabowo berjiwa besar mendukung Anies maju sebagai Gubernur DKI. Prabowo bahkan menginstruksikan seluruh anggota DPR RI, DPRD Provinsi hingga anggota DPRD Kabupaten/Kota Partai Gerindra seluruh Indonesia yang berjumlah ribuan untuk berkontribusi dana (pemotongan gaji) dan hadir ke Jakarta sebagai Tim Pemenangan di setiap kelurahan di DKI Jakarta. Begitu ketatnya persaingan Pilgub waktu itu dan alhamdulillah, Anies-Sandi menang. Itulah faktanya.

Di zaman simulakra seperti sekarang ini, di mana realitas palsu mudah sekali diciptakan dan disebarluaskan, kita membutuhkan pemimpin otentik dan bukan pesolek. Kita butuh pemimpin berkarakter, yang sudah selesai dengan dirinya, bukan petugas partai, bukan pula ronin.

Penulis: Fadli Zon (Wakil Ketua Dewan Pembina dan Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra)

URL List

Komentar