CEKFAKTA.CO.ID,. JAKARTA – Kegiatan pertambangan di pulau-pulau kecil di Indonesia dinyatakan telah dikendalikan dan dijalakan dengan sangat baik oleh sistem pemerintahan.
Maka, selama tidak ada peringatan hingga penghentian kegiatan, maka suatu perusahaan pertambangan tersebut tidak dapat dikatakan telah melakukan tindakan berbahaya, atau yang dimaksud dengan “abnormally dangerous activity” sebagaimana yang disebutkan dalam amar putusan MA.
Hal ini disampaikan langsung oleh Ahli Teknik Pertambangan dan Perlindungan Lingkungan, Witoro Soelarno yang hadir dalam sidang lanjutan Perkara Nomor 35/PUU-XXI/2023 yang melibatkan perusahaan tambang nikel yang beroperasi di Kabupaten Konawe Kepulauan, PT Gema Kreasi Perdana (GKP) sebagai pemohon.
Sidang ini digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu lalu (18/10/2023) di Ruang Sidang Pleno MK.
Witoro Soelarno menjelaskan khusus untuk pertambangan, apabila kebijakan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP3K) “diartikan” melarang adanya kegiatan pertambangan di pulau-pulau kecil, maka akan berdampak negatif terhadap pemanfaatan sumber daya pertambangan dan energi yang ada di pulau-pulau kecil.
“Khusus untuk pertambangan, apabila kebijakan pada undang undang ini ‘diartikan’ melarang adanya kegiatan pertambangan di pulau pulau kecil, maka akan berdampak negatif terhadap pemanfaatan karunia Tuhan yang berupa sumberdaya pertambangan dan energi, yang ada di pulau-pulau kecil. Khususnya nikel yang akan menjadi tulang punggung menuju Indonesia Maju tahun 2045,” jelasnya.
Data cadangan dan sumberdaya nikel masih terbatas diketahui pada beberapa provinsi saja. Diyakini masih sangat besar potensi yang ada dan sebagian besar ada di pulau-pulau kecil di Indonesia bagian Tengah dan Indonesia bagian Timur.
Witoro yang dihadirkan sebagai ahli oleh PT GKP menjelaskan bahwa pertambangan berpotensi besar menghadirkan masalah, baik masalah lingkungan maupun sosial.
Untuk itu, diperlukan implementasi ketegasan dan keketatan kebijakan pemerintah terhadap pertambangan, sejak jaman kolonial Belanda hingga kini. Adapun tujuannya agar pertambangan bisa tetap dapat berjalan dan berkontribusi terhadap pembangunan.
“Dengan demikian, Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf (k) UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, masih memberikan kesempatan kepada kegiatan pertambangan, selama semua ketentuan perundangan yang ditujukan untuk melindungi kelestarian fungsi lingkungan di pulau-pulau kecil tetap dapat dilakukan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” ujarnya
Kepentingan Prioritas
Sementara itu, I Nyoman Nurjaya yang merupakan Ahli Pemohon lainnya dalam persidangan menjelaskan norma yang terkandung dalam ketentuan Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k UU PWP3K tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 sepanjang dimaknai tidak sebagai larangan mutlak dan definitif, tetapi sebagai norma perbolehan (toestemming) untuk kegiatan selain kepentingan yang diprioritaskan, khususnya untuk pertambangan mineral dengan syarat yang apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya tidak menimbulkan kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya.
Kandungan norma dalam ketentuan Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k UU Nomor 27 Tahun 2007 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 281 ayat (2) UUD 1945 sepanjang dimaknai sebagai larangan mutlak, definitif dan tanpa syarat.
Nurjaya juga menyampaikan norma yang terkandung dalam ketentuan Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 hurup k UU PWP3K tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 281 ayat (2) UUD 1945 yang definitif, tetapi sebagai norma izin (toestemming), bagi pertambangan mineral dengan syarat apabila sepanjang dimaknai tidak sebagai larangan mutlak dan untuk kegiatan selain kepentingan yang diprioritaskan, khususnya teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya tidak menimbulkan kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya.
Sebelumnya, Pemohon merupakan suatu badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas yang memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) di wilayah yang tergolong Pulau Kecil, terdapat keterkaitan sebab akibat (causal verband) dengan berlakunya Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k UU 1/2014.
Pasal UU a quo ditafsirkan oleh Mahkamah Agung sebagai larangan tanpa syarat untuk melakukan kegiatan penambangan mineral di wilayah yang tergolong Pulau Kecil, padahal Pemohon telah memiliki Izin yang sah dan diterbitkan oleh instansi yang berwenang untuk melakukan penambangan nikel di wilayah tersebut.
Bahkan Izin Usaha Pertambangan milik Pemohon telah mengalami beberapa kali perubahan dari Izin semula berupa Kuasa Pertambangan Nomor 26 Tahun 2007 yang terbit sebelum berlakunya UU 27/2007.
Sehingga, menurut Pemohon, Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf ka UU 1/2014 bila ditafsirkan sebagai larangan terhadap kegiatan pertambangan secara mutlak tanpa syarat, maka seluruh tata ruang terhadap Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang diatur oleh Peraturan Daerah akan bertentangan dengan UU PWP3K dan harus dilakukan perubahan.
Akibatnya, seluruh perusahaan yang berusaha dibidang pertambangan di wilayah-wilayah tersebut harus dihentikan pula. Tentu hal ini akan merugikan banyak perusahaan tambang, dan sama halnya dengan Pemohon, mereka telah pula melaksanakan kewajiban pembayaran kepada negara.
Publisher: Redaksi
Komentar